Aneh, Kampung ini Semua Warganya Berpoligami

Sebuah kampung unik ada di Sidoarjo kampung unik ini bernama Jalan Wayo. Karena banyak warganya yang mempunyai istri lebih dari satu, sebuah jalan di Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur, diberi nama Wayo. Wayo alias wayuh adalah kata dalam bahasa Jawa yang berarti beristri lebih dari seorang. Yang menarik, kehidupan warga di sana adem ayem.

Istilah Jalan Wayo tersebut sebatas
omongan orang. "Tidak ada. Itu hanya mitos," ujar seorang warga.



sebutan aneh Jalan Wayo tentu bukan tanpa alasan. Nama resminya adalah Jalan KH Ahmad Dahlan. Namun, justru warga sendiri yang mengganti dengan Jalan Wayo. Hal itu tak lepas dari kenyataan bahwa banyak warga di sana beristri lebih dari satu, yang dalam istilah Jawa dikenal dengan sebutan wayo atau wayuh.

Ridho, 75, salah seorang sesepuh kampung, menceritakan, nama Jalan Wayo berawal dari keputusan salah seorang warga untuk berpoligami. Itu terjadi pada era 1980-an. Siapa sangka, langkah pria yang juga tokoh desa itu diikuti para warga lain. Perlahan tapi pasti, jumlah warga yang memiliki istri lebih dari satu pun semakin banyak.

Sekarang, di antara 50 kepala rumah tangga yang ada, sebagian besar memiliki istri lebih dari satu. Memang, hanya dua yang resmi. Tapi, mayoritas lainnya menjalaninya secara diam-diam.

Meski begitu, kehidupan keluarga mereka tetap harmonis. Ridho mengaku tidak pernah mendengar ada pertengkaran di antara para istri gara-gara berebut suami. "Saya nggak pernah tahu ada wanita datang kemari untuk melabrak," ucapnya. "Di sini aman tenteram. Mungkin ada danyangnya," sambungnya.

Ridho menambahkan, keluarga yang mampu secara ekonomi relatif lebih "mulus" dalam melakukan wayuh. Dengan kekuatan uang, dia bisa membagi kekayaan secara adil kepada istri-istrinya. Misalnya, setiap istri diberi rumah dan tambak. Hal itu meminimalkan kemungkinan perebutan warisan ketika sang suami meninggal.


Sementara itu, keluarga yang kurang mampu harus menerima apa adanya. Tidak banyak tuntutan. Mereka mengatur materi sedemikian rupa hingga adil. Ada juga yang memberikan wewenang pembagian itu kepada istri tua. "Aneh memang, tapi itu yang terjadi di sini," ujarnya lantas terkekeh.

Didik, 32, putra Ridho, menyatakan, banyak alasan yang mendasari pria-pria di kampung tersebut memilih wayuh. Mulai pertimbangan ekonomi sampai niat memiliki keturunan. "Yang penting bisa adil, jujur, dan bertanggung jawab. Itulah kuncinya," katanya.

Dengan semakin populernya istilah Jalan Wayo, dulu ada seorang pamong desa yang keberatan. Menurut dia, istilah tersebut justru merugikan. Pandangan orang terhadap kampung tersebut akan semakin negatif. Nah, suatu ketika pamong itu mencopot plang nama Jalan Wayo yang terbuat dari kayu dan membakarnya. Tetapi, warga tak kehabisan akal. Mereka menggantinya dengan seng agar lebih kuat.

Hal itu membuat sang pamong meradang. Dia pun memilih pergi dari kampung tersebut. "Tidak masalah. Wayuh itu kan urusan pribadi. Kita tidak bisa ikut campur. Yang penting dengan warga lain bisa saling menghormati," ujar Didik.

Keharmonisan kehidupan keluarga di Jalan Wayo terlihat saat Lebaran. Hubungan silaturahmi tetap terjaga dengan apik. "Biasanya, istri muda yang sungkem kepada istri tua," ujar AS, salah seorang warga.

AS adalah salah seorang "produk" dari wayuh. Ibunya menjadi istri kedua seorang pria di kampung tersebut. Meski begitu, AS mengaku tidak pernah ada masalah. Ibunya bisa menerima keadaan dan tetap rukun dengan istri pertama sang ayah. Juga tidak pernah ada cerita rebutan warisan.

Suka duka menjalani wayuh dirasakan NN. Perempuan 35 tahun itu tinggal di Jalan Wayo sejak 2005. Dia mengaku bahagia meski harus berbagi suami dengan istri pertama yang tinggal hanya berseberangan gang. Dia juga senang tinggal di kampung tersebut. Selain bisa dekat dengan suami, dia merasa dihargai.

Mengapa mau diwayuh? "Saya dulu punya suami, tapi tidak bertanggung jawab," ungkap NN. Perempuan asal Kediri itu mengaku sering disiksa oleh suami pertamanya. Dia pun menunjukkan sejumlah bekas luka sundutan rokok di kedua tangan dan kakinya. Bekas luka itu menghitam. Ada puluhan luka serupa di tangan dan kakinya.

Setelah sang suami mengucapkan talak, NN memilih kabur. "Sudah nggak tahan," ucapnya sambil terisak.

Dia pergi tanpa tujuan sampai akhirnya terdampar di Sidoarjo. NN menjadi gelandangan dan pengemis. "Hanya selembar baju yang saya bawa. Tidak punya uang sama sekali," imbuhnya.

SD mengutarakan niatnya menikahi NN kepada istri pertama, Tin. Hal itu menimbulkan cekcok hebat. Namun, SD tidak patah semangat. Sang istri akhirnya memberikan lampu hijau. "Dia perempuan hebat. Legawa sekali. Saya bangga punya istri seperti dia," ujarnya.

NN sendiri menikmati perannya sebagai istri kedua. Dia dan istri pertama SD bisa hidup rukun. "Rumahnya beda gang. Walaupun begitu, kami tetap menjaga silaturahmi. Anaknya juga sering tidur di sini," katanya.

Lain lagi cerita TM. Perempuan asli Sidoarjo itu mengaku rela diwayuh lantaran tak kuasa hidup sendiri mengasuh dua anak. "Setelah menikah dan menjadi istri kedua, keadaaan ekonomi saya membaik. Anak-anak saya sekolah semua," ujar perempuan 40 tahun itu.

TM memang hanya menikah siri. Tetapi, sang suami selalu bersikap adil kepada keluarga kecilnya. Jadwal "kunjungan" diatur dengan rapi. Tiga hari di istri pertama, tiga hari di istri kedua. Tidak pernah terjadi masalah dengan istri pertama.

Seiring dengan berjalannya waktu, tradisi wayuh di kampung tersebut mulai berkurang.
Demikianlah artikel tentang "Aneh, Kampung ini Semua Warganya Berpoligami". Jika anda menyukainya, silahkan klik iklannya dan sebarkanlah untuk membantu kami agar dapat lebih baik lagi kedepannya :)

1 comment: